Friday, May 21, 2010

TATABEUHAN

Sebelum istilah gamelan hidup dalam dunia seni suara/karawitan Sunda, telah ada suatu istilah untuk menunjukan benda tersebut yaitu "TATABEUHAN"; yaitu seluruh waditra, baik alat yang dipukul, ditiup, digesek maupun dipetik. Dalam istilah karawitan Jawa dikenal "Tatabuhan" sedang dalam karawitan Bali dikenal istilah "Tatabehan"
Ditinjau dari segi bahasa, gamelan berasal kata gamel yang artinya pukul/tabuh. Gamelan adalah seluruh alat bunyi-bunyian dalam satu unit yang terdiri dari sebagian besar alat yang cara membunyikannya dipukul, seperti yang terdapat dalam: Cara Balen, Monggang, Goong Renteng, Sekaten, Degung, Gamelan Pelog/Salendro, dan sebagainya.

AJENG
Ada yang berpendapat bahwa kata Ajeng itu kependekan dari pangajeng-ajeng (sebagai penghormatan) sesuai dengan fungsinys yaitu sebagai gending penghormatan para tamu/undangan di dalam pesta pernikahan, khitanan dsb.
Instrumennya terdiri dari: Kolenang, Kendang Paneteg dan Panongtong, Gangsa (gambang perunggu), Kempul dan goong, Kecrek dan Ketuk

CARA BALEN
Menurut asal katanya Cara Balen dari kata Cara=Seperti/Motif-motif, Balen=Bali-an> Baik Instrumen, surupan dan motif-motif pukulan, maupun susunan nada meniru Bali.
Ada juga yang berpendapat bahwa Cara Balen adalah cara kembali untuk mengulangi kalimat lagu dalam satu lagu yang berkalimat lagu satu frase.
Waditranya terdiri dari: Kolenang sebagai melodi, Gangsa sebagai melodi, Panongtong dan Paneteg, pengantar irama, Kajar pengjaga irama tetap.
Penggunaan dari gamelan ini pada saat itu adalah:
Senenan: yaitu cara Kepala desa di Ciamis berlatih perang dengan mengendarai kuda yang diadakan setahun sekali di alun-alun
Nyangku: membawa benda-benda pusaka, keris, tombak, cincin dan batu-batu ajimat yang akan dimandikan pada bulan Maulud.
Pesta Raja: Mengundang raja Onom dari pulau Erang/Majeti (Ciamis)

GOONG RENTENG
Goong Renteng biasa disebut pula Degung Renteng atau gamelan renteng, terdapat di daerah Lebak Wangi Bandung, Guradog Banten, Cikebo Tanjungsari, Cigugur Kuningan.
Waditra di masing-masing tempat mempunyai persamaan namun ada yang lengkap dan ada yang kurang, alatnya terdiri dari Bonang/ Koromong/ Kokuang Renteng,Gangsa, Cecempres/Selukat/Cecempres, Jengglong, Kendang, panglima/Kenong, Beri, Goong
Nama-nama lagu pada goong renteng antara lain: Bale bandung, Papalayon, Pangkur, Sisir Ganda, Ayun Ambing, Barong, Bung Bulut Bungbulan, Dongdang, Gersik, Pucung, Ongger Tutung

M O N G G A N G
Monggang terdapat di daerah Pandeglang, untuk penghormatan para Undangan pada pesta pernikahan atau khitanan dan peringatan hari-hari Besar.
Alatnya terdiri dari: Ponggang/Bonang, paneteg dan panongtong, Dua buah Goong Besar, Kajar

SEKATEN
Ada beberapa pendapat mengenai istilah sekaten diantaranya:
- Asal kata dari sekatian (1 kati) yaitu berat penclon dari tiap goong lebih kurang satu kilo
- Sekaten dari sesek ati (sedih) didasari oleh perasaan Siti Fatimah yang ditinggalkan oleh ke dua putranya yang gugur di medan perang
- Asal kata dari kata Sahadatein, didasari oleh tradisi dalam pertunjukan Sekaten, harus diawali dengan membaca kalimat Sahadat.
- Asal kata dari Suka Ati (gembira) atas kemenangan R. Fatah dalam peperangan.

Waditranya: Bonang, Titil/Peking, Jengglong, Paneteg dan panongtong (kendang), Cret (ketuk tanpa penclon), Dua gong besar, Demung, Kajar
Gending-gendingnya yang dihidangkan berdasarkan waktu: Sekaten (19.30), Goleng (19.45), Cilingcing Durun (20.00), Bango Butak (21.00, tepat pada waktu turun jimat), Kajongan (23.00), Pari Anom (03.00), Rambu Miring (07.00), Rambu Cilik (14.00)
Surupan yang digunakan adalah Prada atau Pelog Sapta Nada. Gamelan ini digunakan sebagi gending upacara, terutama untuk memperinati hari kelahiran dan meninggalnya Nabi muhammad SAW, yaitu bulan Maulud selama satu minggu.

DEGUNG

Arti Degung sama dengan gangsa di Jawa Tengah, Gong di Bali atau goong di Banteng yang artinya GAMELAN.
Pasa awalnya Degung terdiri dari waditra: Bonang, Jengglong, Cempres, dan sebuah Goong besar.
Pada Kongres Java Institut tahun 1921 di Bandung, diadakan satu pertunjukan di antaranya ada Goong Renteng dari Lebak Wangi. Setelah Pa Idi (alm) melihat waditra-waditra tersebut, maka Degung ditambah dengan Suling dan Kendang. Dengan adanya penambahan waditra, makin terkenallah Degung. Lebih-lebih pada tahun 1927 dan 1928, digunakan untuk mengiringi Film Loetoeng Kasaroeng.
Sekitar tahun 1962, terlihat pementasan Degung dilengkapi dengan Angklung, namun perkembangannya tidak meluas disamping kurang praktis juga tidak ekonomis.
Tahun 1964, RA Darya melengkapi Degung dengan Gambang, Dua ancak Saron dan Rebab, untuk digunakan dalam pergelaran Gending Karesmen Munding Laya karya Wahyu Wibisana. Dan pada akhir tahun 1964, Enoch Atmadibrata membuat Tari Cendrawasih dengan menggunakan Degung, untuk lengkapnya....... http://ewarnika.blogspot.com

GAMELAN PELOG SALENDRO
Gamelan merupakan sebentuk nama alat yang didukung oleh bermacam-macam waditra di dalamnya, yang merupakan satu kesatuan komposisi dalam wujud pergelarannya.
Nama-nama Waditra Gamelan Pelog-Salendro
Adapun waditra-waditra itu tertentu dalam jumlahnya menurut kebutuhan atau teknik dan tradisinya. Waditra-waditranya kebanyakan terdiri dari alat pukul, seperti: dua perangkat saron, peking, demung (panerus), selentem, bonang, rincik, kenong, kenong, kendang, kempul dan gong, rebab, gambang.
Dilihat dari segi cara membunyikannya, maka waditra-waditra dapat dibagi dalam empat bagian, yaitu: alat pukul, alat petik/gesek, alat tiup.
Pada gamelan pelog-salendro sangat jarang sekali dipergunakan alat tiup (misalnya suling) karena lagu (melodi) dipercayakan pada rebab. Sebaliknya pada gamelan degung tidak dipergunakan alat gesek (rebab) karena suling telah berfungsi sebagai pembawa lagu. pada pergelaran renteng, suling dan rebab tidak dipergunakan, melodi lagu dibawakan oleh bonang.
Untuk lengkapnya klik http://ewarnika.blogspot.com

KESENIAN HIBURAN

OGEL
Banyak yang berpendapat bahwa asal dari kata ugal-igel, gual-geol, yaitu gerakan-gerakan anggota badan yang lucu, agar penonton menjadi gembira, penuh gelak tawa. Perkiraan ini bertitik tolak dari cara pementasan tradisi lokasi.
Instrumen yang digunakannya adalah:
- 4 buah Dog-Dog: Tilingtit (dogdog terkecil), Panempas (dogdog kecil), Jongjrong (dogdog besar), Bangbrang (dogdog terbesar), berfungsi sebagi melodi ritmik dan metrik
- Satu buah Tarompet
- Angklung sebagai acompagnement
Pukulan dari keempat dogdog membentuk motif-motif sebagai berikut:
NGALEUNGGEUH: motif pukulan sebagai isyarat bahwa pertunjukan akan segera dimulai
NGARAJAH: mengiringi
LONTANG

Sandiwara rakyat sederhana dengan arena berpindah-pindah tempat (berkeliling). Wilayah arena dibatasi oleh lingkaran. Di tengah-tengah lingkaran terdapat sebuah lampu oncor (obor), pada sebuah tiang bambu sebagai alat penerang sederhana. Cerita yang dibawakan adalah ceritra-ceritera rakyat bentuk humor.
Instrumen yang digunakan: Sebuah kendang dan 2 buah kulanter, Rebab, Dua buah Saron, Ketuk, Kempul dan Goong.
Perkembangan dari Lontang adalah LONGSER, dimana iringan menggunakan gamelan yang sedikit lengkap seperti adanya waditra Bonang dan Demung serta adanya Juru Kawih. Sejenis Longser ini di daerah Jakarta dan sekitarnya ada jenis kesenian LENONG. Perbedaanya terletak pada penggunaan bahasa dan dialeknya, serta tatabusana, serta ada waditra TEHIAN, sejenis Rebab
BANYET

Semacam Longser di Cikampek dan Karawang, yang menggunakan waditra iringan: Tehian, Kendang dan Kulanter, Keromong/Ketuk, Kecrek.
Lagu-lagu yang dipergelarkan antara lain:
- Tatalu mempergunakan bentuk lagu Arang arang, Sulanjana.
-Gonjingan
- Topengan memakai lagu Lambang Sari
- Rewel mempergunakan lagu Rewel
- Keluar Topeng dengan lagu Gandes, Enjot-enjotan, Persi, Balo-balo, Oncom Lele
- Tari-tarian dengan bentuk lagu Sawilet.
- Lakon mempergunakan lagu-lagu Sawilet
- Ngajantuk dengan lagu-lagu sawilet
lagu pembukaaan/Kidung sebagai kata pengantar dan memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar selamat dalam menjalankan tugas.
KEMPRINGAN: mengiringi sekar
DENGDENGTUNG: Motif pukulan untuk mengiringi gerak dan langkah-langkah sebagai berikut: Dua langkah maju, selangkah mundur, mempunyai maksud bahwa setiap pekerjaan harus mencontoh kepada pengalaman yang lalu, merencanakan proses yang akan datang agar hasil baik kwalitas maupun kwantitas merupakan kelipatan dari yang telah dikerjakan.
TABEUH JALAN: Pengiring di mana para pemain sedang berjalan atau berkeliling.
TABEUH SALIWAT: Motif pukulan perlihan menuju atraksi-atraksi humor/bobodoran
NGABENDRONG: motif pukulan bubaran, memberi isyarat bahwa pertunjukan telah selesai.
Perkembangan selanjutnya dari Ogel adalah REOG, yaitu dengan adanya waditra tambahan seperti: dua buah saron barung sebagai rangka lagu, Rebab sebagai pembawa melodi, Kendang dan kulanter untuk pengatur irama dan pendukung gerak, kempul dan goong untuk pemangku irama/anggeran wiletan dalam menjaga agar tempo ajeg.

LONTANG

Sandiwara rakyat sederhana dengan arena berpindah-pindah tempat (berkeliling). Wilayah arena dibatasi oleh lingkaran. Di tengah-tengah lingkaran terdapat sebuah lampu oncor (obor), pada sebuah tiang bambu sebagai alat penerang sederhana. Cerita yang dibawakan adalah ceritra-ceritera rakyat bentuk humor.
Instrumen yang digunakan: Sebuah kendang dan 2 buah kulanter, Rebab, Dua buah Saron, Ketuk, Kempul dan Goong.
Perkembangan dari Lontang adalah LONGSER, dimana iringan menggunakan gamelan yang sedikit lengkap seperti adanya waditra Bonang dan Demung serta adanya Juru Kawih. Sejenis Longser ini di daerah Jakarta dan sekitarnya ada jenis kesenian LENONG. Perbedaanya terletak pada penggunaan bahasa dan dialeknya, serta tatabusana, serta ada waditra TEHIAN, sejenis Rebab

BANYET

Semacam Longser di Cikampek dan Karawang, yang menggunakan waditra iringan: Tehian, Kendang dan Kulanter, Keromong/Ketuk, Kecrek.
Lagu-lagu yang dipergelarkan antara lain:
- Tatalu mempergunakan bentuk lagu Arang arang, Sulanjana.
-Gonjingan
- Topengan memakai lagu Lambang Sari
- Rewel mempergunakan lagu Rewel
- Keluar Topeng dengan lagu Gandes, Enjot-enjotan, Persi, Balo-balo, Oncom Lele
- Tari-tarian dengan bentuk lagu Sawilet.
- Lakon mempergunakan lagu-lagu Sawilet
- Ngajantuk dengan lagu-lagu sawilet

RONGGENG GUNUNG
Ronggeng gunung merupakan sandiwara rakyat yang menceritakan kisah puteri Raja haur Kuning dari Pangandaran yang sedang menderita karena ditinggalkan ayahnya gugur di medan perang dan kekasihnya ada yang membunuh. Kisah tersebut diakhiri dengan pertemuan antara dia dengan Prabu Sawung Galing kemudian dijadikan prameswari. Untuk mengenang kisah tersebut dia membuat jenis kesenian yang disebut Ronggeng Gunung
Lagu-lagu dalam kesenian itu diberi nama sesuai dengan peristiwa-peristiwa, diantaranya:
- Kuduk Turi: menggambarkan tangisan sang putri ketika mendapatkan kekasihnya telah menjadi mayat yang membusuk
- Tunggul Kawung: melukiskan sang puteri beserta pengikutnya sedang menebang pohon kawung untuk dijadikan ladang/huma
- Sasagaran: menggambarkan pertarungan atau mengadu kekuatan antara para pengikut puteri, di mana yang menang menjadi pengikut mutlak

Banyak sandiwara-sandiwara rakyat yang semotif, di antaranya: UBRUG, DUL MULUK, WAYANG SENGGOL,

BELENTUK NGAPUNG

Arti daripada Belentuk Ngapung adalah Ronggeng (belentuk) yang menari-nari (ngapung) di pentas. Dan mungkin berasal dari bunyi gamelan pengiring (belentuk adalah katak yang cembung dan berbunyi "tuk-ngak") mirip suara katak tersebut, yang disebabkan oleh alat bunyi-bunyian tiga buah ketuk, yang berbunyi di udara (ngapung). Jenis kesenian ini terdapat di daerah Purwadadi, Sukamandi dan Pabuaran. Yang merupakan suatu hiburan bagi masyarakat setempat.
Di daerah lain seperti di Sumedang jenis kesenian ini disebut Telembuk Ngapung. Kata ini berasal dari: Telembuk berarti wanita tuna susila, ngampung artinya berkeliling ke kampung-kampung. Hal ini sesuai dengan sifat-sifat dari pertunjukan kesenian tersebut seperti dapat diplihat dalam pertunjukannya pada waktu itu, yaitu:
Pertunjukan dipimpin oleh seorang "Lurah Kongsi", apabila si penonton menginginkan si penari (Ronggeng/Belentuk), harus memberi isarat kepada Lurah Kongsi. Sehabis pertunjukan selesai boleh dibawa sekehendak hati sengan imbalan tertentu, sedangkan ketika sedang pertunjukan ronggeng-ronggek mendapat upah yang disebut masak atau banceran dalam istilah lain


KETUK TILU
Nama jenis tari ini dipinjam dari salah satu alat pengiringnya, yaitu tiga buah ketuk (penclon bonang) sebagai pemberi pola-pola irama yang diragami (ornamented), di antara alat-alat tabuahan lainnya seperti Rebab yang memainkan lagu, Kendang Indung (besar) dan Kulanter (kendang kecil) yang mempertunjukkan irama serta dinamik tarian/gerak yang didampingi oleh Kecrek sebagai pengisi irama dan Gong pemberi batas-batas kalimat lagu.
suatu pertunjukkan Ketuk Tilu sesungguhnya dibagi dalam bagian utama yaitu pertunjukan dan tari bersama dimana para penonton bisa secara bebas ikut serta. Suatu pertunjukkan Ketuk Tilu yang masih utuh dimulai dengan TATALU, yaitu pertunjukan tabuhan untuk menghimpun para penonton. Menyusullah bagian yang disebut Jajangkungan di mana para Ronggeng dari rombongan itu tampil memperkenalkan diri dengan berjalan di arena tempat terbuka yang diterangi dengan Oncor (lampu minyak bersumbu tiga di atas tiang) di tengah arena. Sekelilingnya para penonton, yang terdepan jongkok dan di belakangnya berdiri
Berjalan serta gerakan tarian pada bagian Jajangkungan ini, diantaranya disebut Kumpay atau Soloyong, Mincid biasa dan Mincid ajrag (cepat), sedang yang disebut Jajangkungan itu adalah gerak berdiri mengangkat tumit yang bertepatan dengan gong menjatuhkan kembali seluruh badan atau berdiri normal kembali

Di daerah Utara seperti Karawang ada permainan yang disebut Ketuk Tilu Topeng, yang alat tabuhannya sama, tapi ada sedikit perbedaan dalam urutan pelaksanaannya. Tatalunya dimulai dengan lagu Arang-arangan. Mungkin sama dengan lagu Erang di daerah Bandung. Arang-arangan tersebut hanya gendingan disambung oleh lagu Gonjingan, diikuti oleh penyanyi yang disebut Ibu Topeng walaupun tidak memakai kedok/topeng. Gonjingan diteruskan lagu Sulanjana. Hampir sama dengan bagian berikutnya yang terdapat di daerah Priangan yang disebut Wawayangan>

Untuk beralih kepada bagian yang disebut Wawayangan, tabuhan akan berpindah lagu dengan apa yang dinamakan "disorongkan", di mana lagu sebelumnya pada Jajangkungan diakhiri kemudian diganti dengan lagu lain. Sulanjana yang mengiringi suasana tarian yang lembut dan lambat. Nampaknya tarian pada wawayangan ini telah mempunyai bentuk tertentu yang sejalan dengan watak leyepan pada tarian Wayang. Dimulai dengan Adeg-adeg, Bukaan Lontangi gerak perantara Galeong setelah sekian kali Adeg-adegi diulang beralihlah pada Jangkung Ilo. Beruntun menyambung gerakan-gerakan Gedig, Mincid, dan seterusnya hampir sama dengan susunan Ibing Wayang dan Ibing Keurseu gaya Leyepan.
Mungkin istilah Wawayangan itu digunakan karena memang tariannya telah terbentuk seperti Tari Wayang. Pada bagian ini pula, para Ronggeng bersahut-sahutan menyanyi melengkapi suasana tabuhan yang terdengar. Bagian ini merupakan kesempatan bagi para Ronggeng sebagai perempuan, sebagai penari dan sebagai penyanyi, memperlihatkan keterampilannya. Dan bagi para penonton merupakan kesempatan pula untuk mengamati siapa diantara Ronggeng itu yang akan menjadi pilihannya utuk dijadikan pasangan menari bila bagiannya telah tiba.
Yang pertama menyanyi adalah Ronggeng Lulugu kemudian disambung oleh Ronggeng Pangbarep dan menyusul yang lainnyaDi Karawang yang menyanyi itu disebut Topeng, yaitu Ronggeng pula tapi tak berkedok/topeng, menggunakan tutup kepala seperti topi berhias buga-bungaan dan baju kutung yang ditempeli hiasan bergemerlapan. Sambil menari iapun menyanyi sambil menutup mulutnya dengan kipas. Rumpaka yang digunakan bahasa campuran, ada bahasa daerah setempat atau bahasa melayu.
Di daerah Priangan, setelah Wawayangan disambung dengan nyanyian Kidung. Para Ronggeng berjejer menghadap Panjak (para Nayaga/penabuh gamelan), sedang pimpinan Panjak pada waktu yang bersamaan mulai membakar kemenyan sambil mengucapkan jampi-jampi di depan sesajen. Kiranya pada kesempatan ini dia meminta restu agar pertunjukannya berhasil baik.

Sesudah lagu Kidung, dilanjutkan ke acara tari bersama, didahului oleh para Ronggeng pada lagu Erang. Pada saat inilah para penonton boleh menari bersama Ronggeng-ronggeng. Bagi para penonton yang menari diwajibkan membayar, istilahnya "Masak"

Beberapa nama tarian seperti Cikeruhan, mengambil dasar gerak-gerak Penca Silat, tap[i menari ketuk tilu bukan penca, sehingga beberapa gerak pada penca tidak digunakan pada ibing ketuk tilu, seperti gerak kejet, centok, sepak tumbuk dan lain-lain Begitu pula gerak-gerak ketuk Tilu yang khas tidak bisa ditarikan pada ibi penca silat.

Nama-nama gerak yang khas pada ketuk tilu : Sorongan, depok, Ban Karet, Lengkah Opat, Oray-orayan, Balik Bandung, Torondol, Angin-anginan, Bajing Luncat, Lengkah Tilu, cantel, Sontek, dan lain-lain

Sedangkan nama-nama lagu yang menjadi perbendaharaan lagu-lagu pada ketuk tilu antara lain: Kaji-kaji, Polos, Goletrak, Berenuk Mundur, Tunggul Kawung, Sorong Dayung, Geseh, Awi Ngarambat, Bangket, Ombak banyu, Gaya, Gondrong, Daringding, Songler, Geboy, Sonteng, Prangpang Tarik, Gerong, dan banyak lagi.

KAMONESAN

KESENIAN BELA DIRI
Selama hidup di dunia, manusia selalu berusaha untuk menjawab berbagai tantangan dalam kehidupan, seperti halnya pula menghadapi mahluk-mahluk hidup seperti binatang ataupun manusia lainnya dalam hal mempertahankan kebenaran, keadilan, perebutan tahta, harta maupun wanita.
Jawaban tersebut merupakan kebudayaan sebagai hasil daya cipta, rasa dan karsa, diantaranya lahirlah Seni Bela Diri yaitu hasil tata kelakuan manusia untuk menjawab tantangan-tantangan tersebut, jenisnya antara lain Penca Silat dan Benjang

PENCA SILAT
Penca Silat hidup dan berkembang di seluruh Jawa Barat di antaranya: Ciamis (Sindang Sari, Kedung Jarian, Suka Maju, Pulo Erang, Lakbok, Sindang Mulya, Emplak, Sempur Jajar, Pager Ageung, Cigugur, Rancah Hilir, Rancah Girang, Panumbangan, Panjalu, Cilacap, Bantar Sari, Pamarican, Pogor, Ciomas, Pasir Urang, Cimaragas), Sumedang, Tasikmalaya, Subang, Cianjur, Sukabumi, Kuningan, Majalengka, Cirebon, Bandung, Bogor, Bekasi.
Sejak kapan jenis kesenian tersebut lahir di daerah Jawa barat, sampai kini belum ada yang dapat memastikan, namun sekalipun demikian secara rabaan kita dapat mengira-ngira bahwa sebelum terjadinya Perang Bubat, Penca Silat sudah ada. Ini dapat dibuktikan dalam buku Kidung Sunda, Bale Pustaka, Jakarta, 1878, halaman 99 bait ke 6 tertulis sebagai berikut:
"Puluh-puluh rombongan teu kaitung, tujuh rupa PENCA, nu ulin pakarang bae, lain deui bangsa serimpi badaya.
Dengan membaca puisi di atas, kita tahu bahwa Penca sudah ada sekitar tahun 1356, sebelum terjadinya Perang Bubat.
Dalam pertunjukan Penca Silat, Kendang Penca sebagai ensambel kecil sangat berperan sebagai pendukung gerak-gerak penca. Instrumen pada Penca Silat terdiri dari:
a. 2 buah kendang besar dan 2 buah kulanter(kendang kecil) sebagai pengisi gerak dan pengatur tempo lagu
b. Sebuah terompet sebagai melodi lagu
c. Sebuah goong kecil dalam istilahnya disebut bende atau kempul, lazin disebut juga keung, merupakan anamatopoye dari bende tersebut
Jenis pukulan atau tepak pada kendang penca:
- Tepak dua : motif-motif pukulan kendang dalam tempo lambat untuk mengiringi keindahan gerak-gerak atau jurus-jurus
- Tepak tilu : motif-motif pukulan kendang dalam tempo sedang, digunakan untuk mengiringi gerak-gerak yang lebih cepat dari tepak dua
- Golempang : motif-motif pukulan kendang dalam tempo cepat sebagai pendukung jurus-jurus yang lebih cepat daripada tepak tilu. Di sini gambarannya adalah pelaku ibing penca sedang mencari lawan untuk bertarung.
- Padungdung : motif pukulan kendang dalam tempo tercepat sebagai sarana untuk mengiringi pertarungan antara kedua pelaku penca silat tersebut
BENJANG
Sebelum pertarungan dimulai dengan gaya gulat versi Sunda, diawali dulu dengan gerak-gerak tari benjang sambil memperlihatkan otot-otot tubuhnya. Gerakan tersebut mempunyai maksud agar penonton mengetahui kekuatannya. Dalam kata lain dia menantang, siapa yang sanggup berhadapan, dipersilahkan masuk ke arena. Kalau ada yang berani, segera masuk ke gelanggang, lantas saling mengukur kekuatan. Tempo pukulan Kendang dipercepat mengiringi kedua petarung tersebut, seolah-olah memberi semangat. Kedua pelaku saling membungkukan diri, dengan maksud menyembunyikan pinggangnya dari incaran lawannya. Apabila ada yang lengah, maka pinggangnya ditangkap untuk dibantingkan, bila jatuh dan tidak bisa bangun kembali dalam waktu yang telah ditentukan, maka yang menjatuhkan dinyatakan sebagai pemenangnya..
Instrumen yang digunakan sebagai pengiring benjang iniadalah:
- Kendang sebagai pengatur irama, pendukung gerak terutama gerak-gerak bantingan.
- Bajidor sebagai pengisi tesis dan pengisi gerak-gerak yang berat.
- Terbang sebagai pengiring/acompagnement.
- Tarompet sebagai melodi/ngalagu
- Ketuk dan Kenong adalah pemangku irama
- Kecrek sebagai pendukung getaran jiwa.

Jenis kesenian ini dahulu terdapat di daerah-daerah Indramayu, Kuningan, Majalengka, Ciamis, Sumedang, Ujungberung Bandung.

Kesenian sejenis dengan ama lain adalah Sampyong terdapat di daerah Cirebon bagian pesisir. Perbedaan terletak pada busana yang dipakai yaitu tidak memakai ikat kepala/iket.. Ada yang berpendapat Sampyong adalah pengaruh Cina.

KHASANAH KESENIAN DAERAH

KALANGENAN

ANGKLUNG BUNGKO
Suatu upacara di desa Bungko (daerah Cirebon) yang mirip dengan Ngareureus pare di Banten, yaitu “Mapag Sri”.
Jalannya upacara sebagai berikut:
Semua orang diwajibkan mengirim “tumpeng” ke Bale desa. Setelah do’a bersama, Pamong desa, Lebe dan Kabayan memotong tumpeng pada bagian ujungnya/congcot. Setelah itu tumpeng tersebut dibawa lagi oleh si empunya masing-masing.
Upacara itu diingi oleh suatu jenis kesenian angklung yang disebut angklung bungko. Adapun instrument-instrumennya terdiri dari:
a. Angklung yang dari tiga buah
b. Kendang besar
c. Goong dan kempul
d. Ketuk
Jenis kesenian ini selain dipergunakan untuk mapag Sri juga dipergunakan untuk “Pesta Laut dan Munjung”
Pesta laut diadakan pada tepung taun, dengan maksud agar seluruh para nelayan selamat dan memohon supaya hasilnya lebih banyak.
Cara-caranya:
Para nelayan berlayar bagaikan pawai dan ada satu perahu yang khusus untuk membawa sesajen antara lain: tumpeng, beras merah, bubur putih dan merah. Setelah sampai di tempat tertentu maka seluruh sesajen itu dibuang sebagai hadiah kepada penguasa laut. Sesajen tersebut menurut kepercayaan mereka diperuntukan untuk Nabi Hidir sebagai Nadran untukdi laut dan Munjung untuk di darat. Yang dilaksanakan pada suatu tempat yang disebut Pakuwon /tempat yang disucikan

ANGKLUNG
Menurut mitologi Bali, Angklung itu berasal dari angka (=angka), lung artinya patah/hilang. Angklung dapat dikatakan nada/laras yang tidak lengkap. Sesuai dengan istilah Cumang Kirang di Bali yang berarti nada kurang (surupan 4 nada), maka angklung di Bali terdiri dari 4 ancak, seperti yang terdapat pada nama-nama angklung Ciusul Banteng.
a. Angklung kecil bernama Kingking
b. Angklung nomor dua bernama Panempas
c. Angklung besar bernama Engklok
d. Angklung terbesar bernama Jongrong
Berbeda dengan Angklung dari Bandung yang terdiri dari 9 Angklung, yaitu:
1. Singgul
2. Jongjorong
3. Ambrung
4. Ambrung Panerus
5. Pancer
6. Pancer Panerus
7. Engklok
8. Roel
9. Roel Panerus 1
Disertai dengan dua buah dogdog, satu buah Bedug dan Tarompet. Sedangkan di Tanjungsari terdiri dari 12 angklung dan 4 dogdog
Selain angklung-angklung di atas masih ada lagi, yaitu angklung Ogel, Buncis dan reak. Perbedaaanya hanya dalam penghidangannya dan ini dititikberatkan kepada humornya saja. Perlu diketahui bahwa angklung itu semula tidak berfungsi sebagai melodi hanya berupa rangka lagu atau bass saja, karena untuk melodi kurang lengkap (hanya 4 nada)
Angklung seperti ini digunakan dalam upacara “Ngareureus Pare”, Helaran yaitu suatu bentuk pawai dalam mengiringi anak yang digitan dari rumah menuju rumah “bengkong” (tukang hitan). Pawai (arakarakan) tersebut selalu diiringi dengan angklung yang dibunyikan sambil mengelilingi kampong. Pawaitersebut lebih meriah lagi pada saat “ngadu angklung” ( Pemain saling tabrak menabrak, dorong mendorong sambil tetap memainkan angklung, jenis keseniannya ada yang menamakan “Angklung Sered”).
Peristiwa seperti ini dapat dilihat ketika upacara seren taun, selamatan perkawinan, perayaan-perayaan.
Kalimat/rumpaka dan bunyi Angklung yang dinyanyikan dan dimainkan oleh penyanyi dalam upacara ngareureus pare seolah-olah mempunyai maksud memberi sugesti kepada benih. Penyelidikan ilmiah dari Prof. T.C.N. Singh, seorang peneliti dan kepala Departemen Ilmu Tumbuh-tumbuhan di Universitas Annamalai India Selatan, mengatakan bahwa alat bunyi-bunyian dapat mempercepat tumbuhnya bijibenih.
Perkembangan waditra Angklung semakin berkembang ketika bapak Daeng Sutigna merubah laras/tangga nada Angklung ke tangga nada diatonis sehingga tugas Angklung ada yang berfungsi sebagai Melodi, Akompagnemen, sehingga jumlah waditra Angklung untuk melodi 42 buah dan akompagnemen lebih kurang 12 buah
1 Yap Kuns: Programma van de Feestavond van het Congres Java Instituut, Bandung, 1921, hal 242

CALUNG
Beberapa bentuk calung:
1. Calung Gambang
2. Calung Gamelan
3. Calung Jingjing

1. Calung Gambang
Yang disebut Calung Gambang adalah sebuah calung yang dideretkan diikat dengan tali tanpa menggunakan ancak/standar. Cara memainkannya sebagai berikut: kedua ujung tali diikatkan pada sebuah pohon/tiang sedangkan kedua tali pangkalnya diikatkan pada pinggang si penabuh. Motif pukulan mirip memukul gambang.

2. Calung Gamelan
Calung Gamelan adalah jenis calung yang telah tergabung membentuk ansamble. Sebutan lain dari calung ini adalah Salentrong (di Sumedang), alatnya terdiri dari:
a. Dua perangkat calung gambang masing-masing 16 batang
b. Jengglong calung terdiri dari 6 batang
c. Sebuah gong bamboo yang biasa disebut gong bumbung
d. Calung Ketuk dan Calung Kenong terdiri dari 6 batang
e. Kendang
Lagu-lagunya antara lain Cindung Cina (Cik indung menta Caina), Kembang Lepang, Ilo ilo Gondang.

3. Calung Jingjing
Calung Jingjing adalah bentuk calung yang ditampilkan dengan dijingjing/dibawa dengan tangan yang satu sedang tangan yang lainnya memegang pemukul. Sangat digemari dibandingkan dengan bentuk calung-calung lainnya, alatnya terdiri dari:
a. Calung Melodi mempunyai sepuluh nada s.d. 12 nada
b. Calung pengiring/akompanyemen terdiri dari 10 nada
c. Calung Jengglong terdiri dari 5 nada
d. Calung besar sebanyak dua batang/nada berfungsi sebagai kempul dan gong

R E N G K O N G

Setelah padi dituai, lalu “dipangkek” yaitu diikat dengan tali yang terbuat dari bamboo/awi tali, kemudian ditumpuk di dekat dangau (saung sawah) berbentuk pyramid.
Untuk mengangkut ke rumah memerlukan alat pemikul yang disebut angguk (pikulan dibuat dari sebatang bambu) yang pada kedua ujung pangkalnya dibuat lekukan yang melingkar digunakan untuk letak tali pemikul (salang) dan dibuatkan lubang resonator.
Apabila orang yang memikul berjalan atau bergerak, maka lekukan angguk dengan tali yang dibebani padi akan menimbulkan suara diakibatkan terjadinya pergeseran. Jenis kesenian inilah yang disebut “Seni Rengkong”. Seperti dulu terdapat di Sumedang, Ciamis, Tasikmalaya, Ujungberung, Bandung, dsbnya. Alat ini dipergunakan pula dalam perayaanperayaan seperti khitanan, perkawinan, hiburan.
Instrument pembantu bisa ditambah dengan “hatong”, sebuah alat tiup yang terbuat dari bambo. Ada beberapa macam hatong, yaitu:
a. Hatong ijen (hong-hong) ruasnya Satu
b. Hatong Sekaran , hatong yang mempunyai dua ruas
c. Hatong pangajak mempunyai tiga ruas.

G A L E O N G

Musim panen dipakai suatu kesempatan yang baik, terutama oleh para pemuda dan para gadis yang telah saling berjanji diwaktu ngotrek, bahwa sore harinya mereka akan berjumpa di serambi rumah gadis pilihannya masing-masing.
Sekitar jam 16.00 (setelah sholat Asar) pemuda tadi bersama kawan-kawannya mendatangi rumah gadis pilihannya sambil membawa galeong, yaitu suling Banten yang berlubang enam ditiup secara horizontal. Alat ini merupakan media pacaran.
Di serambi muka rumah mereka sambil minum dan makan makanan ringan bersuka ria dengan disertai tiupan-tiupan gsleong dengan lagu yang menyegarkan badan, laras yang digunakan adalah pasieupan carang-carang(salendro) dan Rindu (Pelog). Saling mengikat janji terjadi meskipun disampaikan dengan malu ataupun dibisikan ke telinga sang gadis.

P A N T U N
Dalam upacara “Ngidepkeun” atau” Netepkeun pare” (memasukan padi ke leuit) yang disertai sesajen seperti bermacam-macam buah-buahan, umbi, kacang-kacangan, kupat leupeut tangtang angin.
Ada dua ikat padi (dua geugeus pare) yang dihiasi pakain laki-laki dan wanita, diwujudkan seperti mempelai putra dan putri.

Semua diletakan dimuka Juru Pantun (juru ceritra dalam bentuk puisi Sunda lama yang diceritakan atau dinyanyikan baik dalam bentuk prolog maupun dialog, dengan kacapi, tarawangsa dan suling sebagai sarana pengiring. Cerita yang dibawakan juru pantun antara lain: Ciung Wanara, MundingLiman, Malang Sari,P Panggung Karaton, Ganda Wangi, Ganda Wayang, Mintra Laya, Mintra Wangi, Sutra Kalang Gading, dan sebagainya.

Sebelum pertunjukan dimulai, selalu diawali dengan acara Ngarajah. Pembukaan sebelum memulai garapannya dengan maksud memohon kepada Tuhan Yang maha esa, dan mengheningkan cipta kepada para leluhur yang punya kerja (hajat) agar diberi kelancaran, selamat selama menjalankan tugasnya semalam suntuk

Sebagai lagu penghormatan, maka dilanjutkan dengan lagu Kidung atau Kembang Gadung, untuk daerah-daerah tertentu berdasarkan tradisi daerah setempat.
Ketika waktu telah memasuki larut malam, di mana para penonton telah mulai mengantuk, biasa diadakan adegan homur dengan dialog-dialog. Diantaranya adegan “Lengser Dangdan” (Lengser adalah seorang utusan raja yang sangat dipercayai raja dan disenangi masyarakat). Dalam adegan ini, dibawakan kalimat dan lagu yang bersifat humor, sehingga para penonton hilang rasa kantuknya.

Sering pula ki juru Pantun membawakan cerita “Batara Kala” da;am acara Ruatan yaitu upacara penolak bala bagi orang-orang atau bangunan supaya tidak tertimpa musibah (dimakan Batara Kala).

Manusia yang harus diruat berdasarkan kepercayaan antara lain:
a. Anak tunggal
b. Anak kembar laki-laki atau perempuan
c. Anak nanggung bugang( seseorang yang ditinggal mati oleh kakaknya dan adiknya),
d. Pandawa (lima anak laki-laki)
e. Pandawi (lima anak perempuan)
Sesajen harus lengkap, ditambah dengan alat-alat dapur, dan air bersih yang akan digunakan oleh yang diruat ketika mandi. Dilaksanakan setelah selesai pertunjukan.

KONGKORAK

Kongkorak merupakan instrumen yang dibuat dari kayu yang digantungkan di leher kerbau atau biri. bertujuan untuk memberi tanda terhadap binatang peliharaannya masing-masing, sehingga para gembala hapal betul akan bunyi dari kongkorak tadi.
Alat tersebut dijadikan waditra pada karawitan, di Jawa Tengah hampir sama dengan GENTONO. Istilah lain untuk alat seperti ini ada yang menyebut KOLOTOK

SULING KUMBANG

Suling Kumbang adalah alat penggembala kerbau atau binatang lainnya, yang selain sebagai alat hiburan juga dipergunakan sebagai senjata jika dia mendapat serangan binatang buas.
Bentuknya seperti bangsing (suling ditiup melintang/horizontal), diujungnya lancip sebagai alat penusuk. Lubangnya terdiri dari 2 buah, dapat ditiup dalam pasieupan rindu atau carang-carang.
Menurut kepercayaan mereka, seluruh binatang buas, terutama Harimau Kumbang, takut akan suling tersebut. Mungkin ada latar belakangnya.

T A R A W A N G S A
Suatu jenis kesenian lain yang digunakan untuk upacara penyimpanan padi adalah Tarawangsa. Dengan tujuan yang sama yaitu bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena diberkahi mendapat hasil panen. Dan siap menerima Dewi Sri atau Dewi Padi dengan upacara tersebut.
Dalam penghidangannya disertai gerak Tari dan lagu-lagu sebagai berikut: Pangapungan, Pangemat, Panganginan, Pamapag, Panimang, Lalayaran dan Bangbalikan. Demikian lagu-lagu Tarawangsa di Rancakalong. Sedangkan lagu-lagu Tarawangsa di Banjaran: Pangrajah, Pamapag, Panimang, Bajing Luncat, Pangapungan<>B E N G B E R O K A N
Di daerah Jati tengah, Jati Tujuh dan beber jatiwangi sebelah barat kota Cirebon ada suatu jenis kesenian rakyat yang diupergunakan untuk menyembuhkan anak-anak yang sakit karena gangguan roh jahat yaitu kesenian Bengberokan
Bengberokan hamper sama dengan Bangbarongan di Sumedang, bentuknya setengah ular dan setengah harimau. Kepalanya dibuat dari kayu menyerupai harimaau, badan dan ekornya menyerupai ular yang dibuat dari karung goni (bagor). Instrument pengiringnya disebut ketuk tilu terdiri dari : Kendang, Kecrek, Tarompet, Terbang dan Gong kecil/bende.
Jalannya upacara sebagai berikut:
Di tempat yang telah disiapkan, tampak sesajen, tumpeng dan padi dua ikat/geugeus sebagai upah penggarapan kesenian tersebut. Sesudah membakar kemenyan, alat bunyi-bunyian segera ditabuh dalam lagu tatalu dalam istilahnya disebut ngaleugeuh. Anak anak kampong lari berbondong-bondong menyaksikan “tatabeuhan” tersebut. Peran penonton yang kebanyakan anak-anak sangat dibutuhkan. Diawali lagu Doblang yang diteruskan lagu Kidung untuk menghormati arwah leluhur anak yang akan diobati.
Pelaku Bengberokan tidak kelihatan karena ditutupi oleh pakaian bengberokan, tangan kanan memainkan kepala Bengberokan, tangan kiri menggerak-gerakan ekornya. Di dalam mulut pelaku terdapat suatu alat sebagai media suaranya yaitu semacam klep yang ditiup.
Pada waktu benberokan itu bersuara (mendesis meniru suara ular) anak-anak mulai ramai memperolok-olokannya dengan kata-kata yang menyinggung perasaan si pelau/bengberokan, sehngga menjadi marah. Anak-anak kemudian dikejar-kejar bengberokan.
Apabila ada anak yang tertangkap maka orang tuanya harus menebus dengan uang. Pertunjukan dihentikan apabila si benberokan telah merasa capai mengejar-ngejar anakanak.
Setelah itu Benberokan masuk ke kamar anak yang sakit, di mana telah disediakan sesajen lengkap dengan peralatannya. Pada saat itulah si penderita sakit diobati dengan jalan mendoa dan memijat-mijat seluruh badanya dengan cara digigit oleh mulutnya dan diadukan bibirbawah dan atas dari bengberokan sehingga menimbulkan bunyi yang mengagetkan

MACAPAT

Arti Macapat adalah: Wawacan periode ke IV, diciptakan pada tahun 1269 M, oleh Prabu Banjaran Sari.
Ada yang menduga, macapat asal daripada membaca empat yaitu pengelempokan kalimat 4 suku kata (maca opat-opat), atau membaca cepat-cepat. Bahkan ada yang "mengkiratakan", Macapat adalah :maca bari ngajepat (membaca sambil telungkup). Keseluruhan itu bertitik tolak dari suatu tradisi masyarakat kita, ketika mengadakan upacara "Syukuran kepada Tuhan Yang Maha Esa" telah dikaruniai bayi genap berusia 40 hari, diselenggarakan pada malam hari. Pada siangnya diadakan upacara guntin rambut yang disebut upacara Marhabaan. Dalam upacara Marhabaan disediakan sesajen: Kelapa Muda (duwegan), penuh dengan alat perhiasan dari mas antara lain: kalung, cincin, gelang dan lain sebagainya. Ada pula yang diikatkan pada gunting pemotong rambut yang akan dipakai memotong rambut bayi tersebut. Sebuah bokor berisi air dan bermacam-macam bunga, untuk membasahi kepala bayi sebelum dan setelah digunting.
Lagu-lagu yang dikumdangkan meniru-niru tangga nada Arab atau Mesir. Syair/Rumpaka diambil dari ayat-ayat suci Al Qur'an.

Pada malamnya dilanjutkan dengan upacara hiburan Macapat, berupa nyanyian berumpaka yang berpatokan pupuh yang 17 buah, terutama Kinanti, Sinom, Asmarandana dan Dangdanggula (KSAD), yang bersumber kepada naskah Wawacan.
Wawacan yang dihidangkan antara lain: Ahmad Muhammad, Ali Muchtar, Angling Darma, Arjuna Sasrabahu, Babad Cirebon, Babad Sumedang, Barata Yuda, Cumina, Damar Wulan, Danu Maya, Dewa Ruci, Ekalaya, Gandamanah, Hayatinipus, Kintabuhan, Lokayanti, Maha Barata, Mundinglaya, Nalaka Suraboma, Ogin, Pandawa Seda, Panji Wulung, Pua-pua Bermana Sakti, Purnama Alam, Ramayana, Rangan Pulung, Rangga Wulung, Rengganis, Sangkuriang, Sulanjana, Suryakanta, Surya Ningrat, Udayana, Walang Sungsang.

seorang di antara penggarap Macapat bertugas khusus sebagai Juru Ilo yaitu membawacakan kalimat-kalimat daripada wawacan yang akan dinyanyikan oleh para penggarap lazim disebut Juru Beluk.

TERBANGAN

Selain Marhabaan masih banyak sekali jenis kesenian rakyat yang bernafaskan Agama Islam. Diantaranya Terbangan atau Genjringan. Istilah ini diambil dari nama waditranya, terbang atau genjring yaitu semacam alat berkulit, cara membunyikannya dipukul dengan telapak tangan (ditepak).
Masih ada pula istilah lain yang menunjukan jenis kesenian semacam ini diantaranya Rudat, Tepak Lima, Gambus, Mawalan.

GEMYUNG

Gembyung adalah seni terbang yang telah dikolaborasi dengan alat-alat bunyi-bunyian ketuk tilu antara lain 4 buah terbang, Kendang dan Kulanter, Goong dan Kempul, Saron dan Rebab. Ini terdapat di daerah-daerah: Dukuh, Linggajati, Cilimus, Kuningan, Subang, Sumedang.

Perlu diketahui bahwa Gemyung Sumedang terdiri dari Waditra-waditra: 5 buah Gemyung/Terbang Besar, Kendang dan Kulanter, Goong Awi (Gong bambu/bumbung)
Masing-masing nama waditra terbang adalah Terbang Tilingting, Terbang Bangsing, Terbang Kempring, Terbang Tojo dan Terbang Goong.
Perkembangan dari jenis kesenian Gemyung salah satunya adalah kesenian Bangreng kependekan dari Terbang dan Ronggeng. Dalam pertunjukannya disamping ada nyanyian juga ada tarian.
Lagu lagu yang dihidangkan antara lain: Kidung, Baju Beureum, Turun Sintren, Kicir-Kicir, Rincik Rincang, Adem Ayem. Disini lagu-lagu bernafaskan keagamaan telah hilang. Sedangkan dalam Terbangan, Genjringan, Tepak Lima dan Rudat masih nampak jelas, seperti pada lagu-lagu Husoini, Barjanji, Salawat Nabi, Imlat, Unzur Ila Badrisama, Alaika Salam, Ya Mustufa, Habibi, dan sebagainya